Solo – Rabu (6/7) lalu, saya pergi ke Pasar Gladak yang terletak di Alun-Alun Utara Surakarta. Ditemani Mbak Setyaningsih, Mbak Henny Khair, dan Mbak Riama Maslan, saya menghabiskan sore di pasar buku bekas yang terkenal di Solo itu. Gladak, saat kami datang, agak mendung dan sudah sepi pengunjung. Saat itu sudah hampir jam 4 sore.
Pasar Gladak tidak terlalu besar. Ada sekitar 15 kios berukuran kira-kira 3x3 meter. Sayangnya, beberapa kios di sana tutup. Kami mendatangi beberapa kios yang menjual buku anak. Ada kios yang sangat rapi teratur. Ada juga kios yang berantakan buku-bukunya. Semua buku ditaruh begitu saja dan kami melihatnya sendiri. Ibu atau bapak penjual biasanya hanya menyerahkan setumpuk buku anak atau buku lawas, tergantung apa yang kami cari. Kami memilihnya sendiri, sesuai preferensi dan pengetahuan masing-masing.
Mbak Setya membantu memilihkan beberapa buku juga menawar harga. Penjual di sana, tentu saja, adalah langganannya. Beberapa buku yang ada adalah buku Inpres, buku ensiklopedi lawas, majalah Bobo, novel sastra, komik, dan buku-buku cerita tipis. Masker, handsanitizer, dan mungkin sarung tangan, bisa menjadi peralatan tempur yang cukup memadai untuk berburu buku bekas di pasar buku.
Siang sebelum datang ke Gladak, kami mengunjungi Mbak Setyaningsih di Kamar Bukunya. Di sana, terjalin obrolan ngalor-ngidul tentang buku anak, juga ada beberapa ide baru, pendapat pribadi, dan tips menyimpan buku. Kamar Buku Setyaningsih terletak di kediamannya di daerah Boyolali. Tepatnya, di daerah Ngemplak, sebelah jalan tol baru, kira-kira 30 menit dari Solo kota. Setelah disuguhi dan menyantap kudapan yang disediakan, kami lalu mulai acara Instagram live. Obrolan kami, tentu saja, tidak jauh-jauh dari buku anak.
Setyaningsih mengoleksi buku-buku novel Indonesia, juga buku bertema budaya dan sastra. Sebanyak 30 – 40 persen bukunya adalah buku cerita anak. Meskipun belum semua buku habis dibaca tuntas, ia sudah membaca cepat semua koleksi bukunya. Dan yang penting, ia pasti menghafal semua buku yang ia punya. “Yang menghafal adalah tangan, sesuai ukurannya,” tambahnya, sekalipun ia tak pernah menomori buku-bukunya.
Buku anak koleksinya terdiri dari beberapa bagian. Buku anak lawas, buku terjemahan, yang berbahasa daerah, juga novel anak. Buku anak berbahasa Sunda pernah dikoleksinya. Menurutnya, buku bekas berbahasa Sunda banyak bisa ditemui di pasar buku bekas karena Balai Pustaka memiliki program menerbitkan buku-buku berbahasa Jawa, Sunda, Madura, dan Bali.
Selain buku anak, Mbak Setya juga mengoleksi koran sejak kira-kira tahun 2012. Kompas, Solo Pos, Jawa Pos, dan Media Indonesia hampir setiap hari dikumpulkannya. Dulu bahkan, ia sempat membuat kliping dari koran-koran itu.
Mbak Setya mendapatkan buku-buku lawasnya dari pasar buku bekas atau lapak buku bekas online. Kalau ke kota lain, ia juga datang ke pasar buku bekasnya. Seperti Kawasan Blok M di Jakarta atau Pasar Wilis di Malang. Biasanya buku-buku yang didapatkannya langsung dibersihkan sampai di rumah. Bisa dengan cara dengan dilap dengan tisu basah atau dengan tisu/kapas dan handsanitizer. Beberapa buku juga kadang dimasukkan ke dalam plastik. Karena kamar bukunya ada di lantai 2, yang jadi masalah utamanya adalah debu.
Setyaningsih mengaku mengumpulkan buku anak dan buku anak lawas untuk “balas dendam”. Ia jarang menjumpai buku anak pada masa kecilnya. Biasanya Setya kecil, setelah Lebaran, selalu ke Pasar Gladak untuk mencari buku anak bekas, komik, atau majalah.
Buku anak lawas juga menarik perhatiannya. Ia ingin mengumpulkan jejak-jejak Indonesia melalui buku-buku lawas. Ia juga tak percaya kepada anggapan lama, bahwa bacaan anak hanya bisa dibaca anak-anak. Si Samin karya M. Kasim, misalnya, mencerminkan anak-anak Hindia di zaman itu. Buku itu menggambarkan kondisi bangsa yang ingin membebaskan dirinya.
Masih menurut Setyaningsih, menarik juga menyimak penulis yang biasanya menulis bacaan dewasa, menulis buku anak. Misalnya saja Marjane Satrapi dalam Monster Takut Bulan atau Amal dan Hanafi dalam Mirah Mini. Apa yang sebenarnya ingin mereka sampaikan sangat menarik untuk diketahui, katanya.
Dalam Instagram live, kami juga sempat mendiskusikan beberapa pertanyaan dari teman-teman. Seperti mengapa ada judul buku yang memakai nama tokoh yang berpasangan laki-laki dan perempuan; bagaimana pendapat tentang buku anak digital dan buku anak bergambar saat ini; juga tentang sama atau berbedakah penggambaran anak-anak di buku zaman dulu dan buku masa kini.
Tentu saja, dalam obrolan, kami menyebut beberapa judul buku. Perlu diingat judul-judul ini BUKAN merupakan rekomendasi resmi dari rembuku. Daftar ini HANYA berisi judul dan pengarang yang disebut dalam acara Virtual Trip ke Solo. Tentu saja bisa menjadi pintu masuk ke diskusi-diskusi selanjutnya. Berikut ini adalah daftar buku-buku tersebut.
1. Orang-Orangan Sawah – Yeh Shengtao
2. Raksasa dari Pulau Kecil – penerbit Grafiti
3. Cerita Si Penidur – Aman Datuk M
4. Majalah Kawanku Anak
5. Wacan Bocah – penerbit Lingkarantarnusa
6. Bacaan Anak Indonesia Tempo Dulu – Christantiowati
7. Kitab Si Taloe – penerbit Bentara Budaya Jogja
8. Bocah Alim – buku beraksara Jawa
9. Buku-buku karya Dwiyanto Setiawan, seperti Rahasia Goa Jepang
10. Buku-buku Bung Smas
11. Bacaan Bahasaku – buku pelajaran bahasa tahun 1950-an
12. Jitno dan Jatni – M. Sofion
13. Looking for the King of Fising – Zhang Wei, penerbit Bhuana Sastra
14. Monster Takut Bulan – Majane Satrapi
15. Jip dan Janeke – Annie M.G. Schmidt, penerbit Elex Media
16. Buku-buku Mark Twain
17. Misteri Hilangnya Pangeran Oleomargarin – Mark Twain, Philips Stead, dan Erin Stead, penerbit Noura
18. A Sick Day for Amos McGee – Philip C. Stead dan Erin E. Stead
19. Buku bacaan anak berbahasa Sunda
20. Buku-buku Inpres
Obrolan dan tur virtual Ke Solo dilaksanakan pada Rabu, 6 Juli 2022 melalui instagram live. Intip Kamar Buku Setyaningsih selengkapnya dapat disimak melalui tautan ini dan Intip Pasar Buku Gladak, Solo dapat disaksikan kembali melalui tautan berikut. (EFR)
Komentar
Posting Komentar